Selasa, 13 Mei 2008

mewaspadai Aliran Sesat

Dalam situasi hiruk-pikuk silaturahmi Idul Fitri 1428H lalu, kaum Muslim dikejutkan oleh munculnya suatu kelompok yang menamakan diri sebagai “Al-Qiyadah al-Islamiyah” (Kepemimpinan Islam).

Kemunculan aliran baru pasca Lebaran tersebut tergolong nekad. Sebab, tanggal 3 Oktober 2007 sebelumnya MUI telah mengeluarkan fatwa nomor 4 tahun 2007 yang memutuskan bahwa aliran tersebut sesat berdasarkan fakta ajaran mereka yang bertentangan dengan Islam, yaitu: (1) Adanya syahadat baru “Asyhadu alla ilâha illâ Allâh wa ashadu anna Masîh al-Maw‘ûd Rasûl Allâh”; (2) Adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad saw.; (3) Belum mewajibkan shalat, puasa, dan haji.

Menjaga Akidah Umat

Dalam rangka menjaga kemurnian dan kebersihan akidah masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim ini, sejumlah tokoh dari berbagai organisasi Islam yang tergabung Forum Umat Islam (FUI), tanggal 26 Oktober 2007 mengadakan konferensi pers di Sekretariat GPMI di rumah Bapak Ahmad Sumargono yang intinya menyatakan:

1. Kelompok yang menamakan dirinya “Al-Qiyadah” adalah kelompok sesat dan menyesatkan.

2. Kelompok ini dan siapapun di belakangnya telah sengaja secara keji menodai dan merusak akidah umat Islam.

3. Kelompok ini dan siapapun di belakangnya telah sengaja secara keji memberikan citra buruk pada ormas/partai/kelompok yang memiliki identitas Islam dengan mencatut nama yang baik, Al-Qiyadah, sebagaimana pencatutan nama untuk membuat citra buruk seperti “Komando Jihad” dan “Al-Jamaah al-Islamiyah”.

Untuk itu FUI menyerukan:

1. Kepada para ulama dan pimpinan ormas Islam agar merapatkan barisan dan mempererat ukhuwah islamiyah dalam menangkal bahaya kelompok sesat tersebut maupun lainnya.

2. Kepada para ulama dan pimpinan ormas Islam agar meningkatkan pembinaan akidah dan syariah Islam kepada umat agar memiliki kesadaran yang utuh terhadap akidah dan syariah sebagai kesempurnaan agama Islam yang dipeluknya sehingga dapat membentengi diri dari pengaruh buruk aliran sesat dan menyesatkan.

3. Kepada Pemerintah RI/Kapolri/Jaksa Agung untuk segera membubarkan kelompok sesat dan menyesatkan tersebut, menangkap para pemimpinnya serta membongkar konspirasi dan dalang yang ada di belakangnya karena telah melakukan penodaan agama Islam.

Alhamdulillah, gayung bersambut. Pernyataan FUI yang diekspos banyak media massa ditindaklanjuti oleh Forum Ulama dan Umat Islam (FUUI) Jawa Barat yang melaporkan Al-Qiyadah kepada Mabes Polri. Sebelumnya, hal yang sama dilakukan oleh FPI. Banyak anggota Al-Qiyadah ditangkap dan menyerahkan diri, bahkan akhirnya Mosadeq sendiri menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya.

Seperti biasanya, kelompok liberal mati-matian membela kelompok sesat dan menyalahkan fatwa MUI. Dalam “Todays Dialugue” di MetroTV pada tanggal 5 November 2007, bersama Syafii Anwar dari ICIP saya menegaskan cara mengatasi secara efektif aliran sesat dan orang murtad: (1) diajak berdiskusi serta dibuktikan kesalahan dan kemurtadannya, lalu diajak bertobat; (2) kalau tidak mau bertobat, diberi tempo 3 hari untuk merenung; (3) jika masih tetap dalam kemurtadannya, dihukum mati berdasarkan hadis Nabi saw. (yang artinya): Siapa saja yang mengganti agama Islamnya dengan kepercayaan lain maka hukumlah dengan hukuman mati.

MUI sendiri dalam Rakernas tanggal 4-6 November mengeluarkan pedoman suatu aliran sesat, dengan 10 kriteria sebagai berikut: (1) Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima; (2) Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar‘i (al-Quran dan as-Sunnah); (3) Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; (4) Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi al-Quran; (5) Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; (6) Mengingkari kedudukan hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam; (7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; (8) Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; (9) Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak lima waktu; (10) Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syariah, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.


Waspadai Aliran Sesat

Pada tanggal 9 November diberitakan bahwa Ahmad Mosadeq, pimpinan Al-Qiyadah mengaku bertobat dan mencabut pengakuannya sebagai nabi serta menyerukan kepada para pengikutnya agar kembali ke jalan yang benar.

Berita tersebut, di samping menggemberikan, juga mengherankan. Pasalnya, dia hanya mencabut pengakuan dirinya sebagai nabi dan jamaahnya tidak akan dibubarkan (Republika, 10/11). Padahal masih banyak pertanyaan tersisa, misal: Bagaimana substansi ajaran yang disampaikan oleh Mosadeq dan kelompoknya? Apa kaitan kelompok tersebut dengan gerakan merusak Islam seperti misionaris yang memurtadkan kaum Muslim atau pengajaran sinkretis yang meracik ajaran Kristen, Yahudi, dan Islam sebagaimana ada dalam salah satu buku yang mereka terbitkan? Apa hubungan kelompok tersebut dengan NII KW 9 yang ditengarai sebagai alat intelijen untuk merusak citra umat Islam mengingat istilah-istilah yang dikembangkan seperti mau mendirikan Khilafah, tetapi menyatakan tidak wajib shalat, puasa, dan haji kecuali setelah Khilafah berdiri.

Menurut Abu Deedhat, pimpinan FAKTA, dalam kasus ajaran Ahmad Mosadeq dan kelompoknya, ada keterlibatan Robert Waleyan, pendeta Advent yang mendirikan aliran “Islam Hanif” dalam mendoktrin para anggota al-Qiyadah. Waleyan menulis buku, Kebenaran yang Terungkap dari al-Quran, yang ujung-ujungnya adalah misi memurtadkan umat Islam. Kalau kita meneliti buku-buku yang beredar di kalangan Al-Qiyadah, pasti kita akan terperanjat, karena buku-buku itu mengarah pada ajaran sinkretis dan misionaris tetapi diberi label-label Islam dan ayat al-Quran yang disalahtafsirkan.

Semoga Pemerintah dan para ulama segera menuntaskan kasus al-Mosadeq, Robert Waleyan dan yang serupa dengan gerakan tersebut sehingga kemurnian dan kesucian akidah umat Islam tidak ternodai oleh para dajjal pembohong tersebut.

Wamakarû wamakara Allâh wallâhu khayr al-Mâkirîn. [KH M. Al-Khaththath]


Shalat Malam

Pada bulan Ramadhan ini shalat malam (shalat tarawih) adalah salah satu ibadah yang menonjol dilakukan oleh kaum Muslim di samping shaum, membaca al-Quran, berzikir dsb. Sejatinya, di luar Ramadhan, shalat malam (shalat tahajud) juga biasa dilakukan oleh setiap Muslim, apalagi aktivis dakwah. Betapa pentingnya shalat malam bagi seorang Muslim, Allah secara langsung memerintahkannya dalam al-Quran (QS al-Isra’ [17]: 79). Betapa pentingnya shalat malam itu bagi para aktivis dakwah, Allah pun secara langsung memerintahkannya dalam al-Quran (QS al-Muzammil [73]: 1-4).

Mengapa ada perintah seperti ini? Allah menjawabnya secara langsung (yang artinya): Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS al-Muzammil [73]: 5).

Artinya, Allah akan memberikan amanah yang sulit, beban yang berat serta perintah-perintah yang membutuhkan tekad kuat dan semangat tinggi. Itulah amanah yang ditolak langit dan bumi karena keduanya tidak mampu mengembannya. Lalu amanah itu dibebankan pada pundak manusia. Amanah itu adalah dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad fi sabilillah.

Dalam pandangan Dr. Najih Ibrahim, shalat malam adalah “madrasah” paling agung, tempat seorang Muslim men-tarbiyah dirinya, berkenalan dengan Tuhannya serta memahami seluruh makna nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Shalat malam adalah “madrasah” untuk belajar khusyuk, tunduk, merendahkan diri serta bertobat kepada Allah Swt.

Menurut beliau, ketundukan kita pada malam hari adalah kunci kebesaran kita pada siang hari; sujud kita pada malam hari adalah jalan kemuliaan kita pada siang hari; kekhusyukan kita pada malam hari adalah senjata kemenangan kita atas musuh serta rahasia kesuksesan kita di jalan dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad fi sabilillah.

Sulaiman al-Halbi mengerjakan shalat malam sebulan penuh di Masjid al-Azhar sebelum membunuh Cliber. Ketika mengerjakan shalat, ia berdoa kepada Allah dengan khusyuk, agar Dia memberinya kemudahan dalam membunuh musuh Allah itu. Ketika itu Sulaiman al-Halbi hanya memiliki satu pisau, tidak lebih. Allah Swt. memberinya kemudahan. Ia berhasil membunuh Cliber, Komandan Perang Prancis terkenal, yang kedudukannya sedikit di bawah Napoleon.

Shalahuddin al-Ayyubi, karena pemahamannya yang mendalam tentang Islam, menyadari bahwa shalat malam adalah salah satu kunci kemenangan kaum Muslim atas musuh. Karena itu, jika beliau berjalan melewati kemah anak buahnya pada malam hari dan tidak menjumpai seorang pun yang mengerjakan shalat malam, beliau segera membangunkan mereka dan memarahi mereka seraya berkata, “Saya khawatir, kita diserang musuh malam ini, dari kemah ini.”

Demikianlah Shalahuddin al-Ayyubi. Beliau menganggap tidak adanya shalat malam sebagai celah yang lebih berbahaya daripada celah pada benteng hingga musuh bisa menyerang dari celah tersebut.

Sejak permulaan jihad hingga berjumpa dengan Allah Swt., Khalid bin Walid dan kawan-kawannya mengerjakan shalat malam berjam-jam dan membaca banyak ayat al-Quran di dalamnya. Ia menangis sehingga membuat yang lain juga menangis. Siapa pun yang pernah berinteraksi dengan mereka saat itu berkomentar, “Khalid dan rekan-rekannya seperti para malaikat dalam wujud manusia.” Barangkali inilah, di samping sebab-sebab lain, salah satu kunci sukses jihad Khalid bin Walid.

Ada seorang ulama aktivis Islam yang tidak pernah meninggalkan shalat malam barang satu malam pun. Setiap malam ia mengerjakan shalat malam sebanyak sebelas rakaat dan meng-khatam-kan al-Quran. Ia meningkatkan frekuensi ibadahnya ini selama bulan Ramadhan. Padahal ia telah lanjut usia serta menderita diabetes dan beberapa penyakit lain. Namun, kaum muda tampak kelelahan jika shalat di belakangnya. Bahkan ada di antara mereka yang tidak mau lagi shalat di belakangnya. Itulah yang terjadi.

Seorang generasi salaf berkata, “Aku senang jika malam datang. Hidupku terasa nikmat karenanya dan mataku terhibur dengannya, karena aku dapat bermunajat kepada Zat yang aku sangat suka mengabdi dan tunduk di hadapan-Nya.”

Setiap aktivis Islam harus menyadari bahwa kekhusyukan dan ketundukannya kepada Allah pada malam hari akan membuka pintu kesuksesannya di jalan dakwah. Shalat malam akan memberi kita spirit baru untuk beramal demi Islam dan bekal agung, yaitu tawakal kepada-Nya; juga memberi kita keberanian melawan musuh-musuh Islam. Shalat malam akan membuat hati kita kuat dan iman kita subur.

Sebagian orang mungkin berkata, “Saya sibuk menangani banyak agenda dakwah dan tidak ada waktu lagi untuk shalat malam.”

Untuk mereka, Dr. Najih Ibrahim memberikan nasihat, “Shalat malam adalah salah satu amal demi Islam. Ia adalah salah satu sarana efektif dalam mewujudkan kesuksesan gerakan dakwah dan tegaknya Daulah Islam.”

Jika seluruh kader dakwah mengerjakan shalat malam secara rutin dalam seluruh keadaan—saat senang maupun susah; saat lapang maupun sibuk—insya Allah gerakan dakwah akan meraih sukses besar.

Setiap aktivis Islam hendaknya selalu mengingat perkataan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., “Jika aku banyak tidur pada malam hari, berarti aku menyia-nyiakan diriku. Jika aku tidur pada siang hari, berarti aku menelantarkan rakyatku.”

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memang dikenal rajin mengerjakan shalat malam. Padahal sebagai pemimpin negara, kesibukannya sangat luar biasa. Begitu besarnya perhatian beliau terhadap shalat malam, banyak Sahabat ingin menirunya.

Penerusnya, Khalifah Utsman bin Affan ra., biasa meng-khatam-kan al-Quran dalam tempo satu malam. Itu beliau lakukan dalam shalat malamnya! Ini betul-betul terjadi sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis sahih.

Rasulullah saw. sendiri, yang super sibuk mengurusi umat Beliau, berdakwah dan berjihad melawan musuh-musuh Islam sepanjang hidup Beliau serta mendidik para Sahabat dan umat Islam, tetap mengerjakan shalat malam sebelas rakaat setiap malam. Wajarlah jika Beliau, para Sahabat dan generasi salaf ash-shalih setelah mereka meraih kedudukan terpuji di dunia, juga tentu di akhirat kelak. Itu memang sudah menjadi janji Allah kepada mereka yang rajin menunaikan shalat malam (QS al-Isra’ [17]: 79).

Wamâ tawfîqi illâ billâh. [Arief B. Iskandar]